Ndalem Kumendaman
Dalem Kumendaman berada di Jl. Kumendaman MJ II/ 453, Kelurahan Suryodiningratan, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Dibangun pada tahun 1848 dalem ini ditempati oleh KPH. Cakradiningrat, seorang Kumendam atau Komandan (Wedana Hageng Prajurit Kraton Yogyakarta) pada masa HB VIII. Namun saat ini Dalem Kumendaman ditempati oleh GBPH, Condrodiningrat, putra ke-14 HB IX dari garwa BRAY. Hastungkoro.
Pada saat zaman penjajahan, Dalem Kumendaman ini juga digunakan untuk berkumpulnya para prajurit dari Kraton Yogyakarta. Para warga sekitar yang mengalami penyerangan dari Belanda pun juga sering mengungsi atau bersembunyi di Dalem Kumendaman ini dikarenakan Belanda tidak berani memasuki tempat milik keluarga Kraton Yogyakarta.
Gaya arsitektur bangunan ini mengadopsi gaya tradisional Jawa. Hal itu dapat dilihat dari bentuk dalam dimana masih dapat diliat adanya kuncungan, pendapa, pringgitan dan dalem ageng yang masih kokoh berdiri. Dalem ini sudah mengalami perubahan pada bagian lantainya yang sudah berganti menjadi keramik putih. Meskipun demikian bangunan ini cukup terawat dan masih menunjukkan tapak keasliannya.
Dihalaman Dalem Kumendaman ini terdapat pohon sawo kecik dan pohon kepel. Pohon tersebut memiliki makna filosofi yang sudah berakar di dalam budaya jawa. Sawo kecik memiliki arti sarwo becik atau serba baik. Sedangkan pohon kepel melambangkan “manunggaling sedya lan gegayuhan” atau bersatunya tekat dan usaha untuk meraih impian”
Tambahan Informasi dari RM. Pinten tentang pohon di sepanjang Jl. Panjaitan:
Pada awalnya Tanaman yang ada disepanjang parit Jl. Panjaitan sebelah barat adalah Pohon Asem dan Pohon Gayam bukan Pohon Tanjung .Setelah Parit ditutup kemudian oleh pemerintah ditanami Pohon Tanjung
Ndalem Pugeran (SMA 7)
Ndalem Pugeran ini kemungkinan dibangun pada pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VI 1855-1877. Dulunya nDalem Pugeran ini dulu ditempati oleh GPH Puger, Putra ke-20 Hamengkubuwana VI dari Garwa permaisuri GKR Sultan (GKR Hageng). nDalem ini beberapa kali berubah fungsi. Pada tahun 1950 pernah digunakan sebagai Fakultas Kedokteran UGM atas izin Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan juga pernah digunakan sebagau Rumah Sakit Umum Pugeran hingga tahun 1980 an. Kemudian pada tahun 1985/1986 digunakan sebagai SMA Negeri 7 yang sebelumnya masih menggunakan gedung SMA N 1 Yogyakarta dan sejak Fakultas Kedokteran UGM menempati gedung baru di bulak sumur maka bekas nDalem Pugeran ini digunakan sebagai aktivitas pendidikan SMA N 7 Yogyakarta hingga sekarang.
Ndalem Suryodiningratan
Ndalem ini diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VII sekitar thn 1877 - 1923.
Ndalem Suryodiningratan dulu ditempati oleh BPH Suryodiningrat, putra ke-24 Hamengku Buwono VII dari garwa BRAy Retnojuwito.
Letak dalem tersebut di sebelah selatan Jalan Suryodiningratan dan berdekatan dengan Dalem Brongtodiningratan. Pada saat ini, sisi timur dalem tersebut digunakan untuk kediaman keluarga RM Wisnu Wardana, putra GBPH Suryodiningrat.
Sementara di sisi barat mulai thn 1971 dimanfaatkan untuk SMP II Stelladuce.
Perbedaan dari ndalem ini pendopo Agung lebih pendek dan berbentuk pada atapnya dan dengan tiang2 besi pada pendopo ini.
Pada bangunan Pringitan pun ada campuran bangunan model jawa dan Belanda dengan ciri khas pintu2 dan jendela tinggi dan bentuk atap lebih tinggi.
Tidak ada catatan resmi ataupun sumber reverensi apakah Ndalem ini memang diubah atau dari dulunya seperti sekarang ini.
Jika mengacu dari bangunan Ndalem lainnya, kemungkinan ada perubahan dalam bentuk bangunan dan pendoponya. Ndalem yg sekarang di gunakan sebagai SMP Stelladuce II. Bangunan ini termasuk ke dalam daftar bangunan cagar Budaya DIY yg dilindungi.
Ndalem Suryowijayan
Barang peninggalan Ndalem Suryowijayan berupa keris, tempat rias, tempat nyamping, foto-foto, dan lemari cundhok.
Memiliki nama Ndalem Suryowijayan karena dulunya ditempati oleh Pangeran Suryowijoyo. Di dalam nya terdapat Ndalem Ageng yang ditempati oleh para gadri ( pengungsi-pengungsi ) yang jumlahnya ada 96 KK. Alamat Ndalem Suryowijayan MJ 1 / 340 RT 18 RW 05 Kelurahan Gedongkiwo Kecamatan Mantrijeron. Bangunan Ndalem Suryowijayan berdiri kurang lebih 100 tahun. Untuk bangunan Ndalem Suryowijayan sudah mengalami perbaikan dan yang dipertahankan hanya berwujud filosofi, untuk kayu lantai dan sebagainya sudah diganti sesuai dengan standar keraton. Ndalem Suryowijayan saat ini digunakan untuk tinggal para pangeran dan keponakan serta para keturunannya. Selain digunakan untuk tempat tinggal keturunan keraton, Ndalem Suryowijayan juga bisa digunakan untuk kegiatan masyarakat atas ijin dari RM Anin Sunindyo selaku sesepuh di sana.
Ndalem Condronegaran
Nama Condronegaran berpusat dari nama sebuah ndalem yang berada hampir di tengah-tengah kampung gedongkiwo yang di berinama Ndalem Condronegaran. Ndalem Condronegaran dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwono VII bertahta di Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat pada tahun 1877 hingga 1920.
Ndalem Condronegaran dahulu merupakan tempat tinggal GBRAy. (Gusti Bendoro Raden Ayu). Condronegoro sehingga ndalem tersebut dikenal dengan nama Ndalem Condronegaran dan jalan masuk menuju Ndalem dikenal sebagai jalan Gledekan Condronegaran.
GBRAy. Condronegoro adalah Putri Sultan Hamengkubuwono VII dari istri BRAy. (BendoroRadenAyu) Retno murcito. GBRAy Condronegoro HBVII menikah dengan K.P.H.Condronegoro memiliki 1 putra dan 1 putri yaitu RM.(Raden Mas). RaTjulun dan R.A (Raden Ajeng). Dadut (meninggal saat usia remaja).
Ndalem Brongtodiningratan
Peninggalan dari GBR Ayit Brongtodiningrat putra dari HB 7 Putranya sudah tidak ada semuanya tetapi masih ada cucunya Dari HB 7 kalo putra putri menikah di beri rumah seisinya Dari kraton Bahkan dulu diberi kereta. Patung gupolo itu penjaga. Pringgitan. Pendopo merupakan tempat area kumpul keluarga dan tempat mengadakan pentas seni. Pringgitan itu tempat wayang kulit Belakang Pendopo. Loro Belonyo. Pendaringan ada tmpt pusaka tempat tidur Tmpt benih padi jagung karna tempat agaris Kandang kuda di bagian sudut depan kiri sekarang dirumah menjadi kamar hotel
Ada tempat makan dan tempat sirih khusus Berdiri 1917 semenjak pernikahan eyang Sekarang hotel itu merupakan kerjasama sama pihak lain Semua tempat boleh dikunjungi Ada beberapa tempat yang harus jaga sopan santun Di ruang tengah ada yang pernah kesurupan. Sendong tengah Duduk dipatung Saat pertunjukan pernah ada bunga hilang. Hari sabtu keluarga harus menginap di ndalem Brongto Ini permintaan eyang Bangunan yg tengah menjadi ciri khas dan tidak boleh dirubah sama sekali tapi disekitar sudah banyak perubahan.
Royal Brongto Hotel memiliki bangunan yang unik, karena bangunan hotel ini dahulu adalah Rumah kuno milik bangsawan Keraton Yogyakarta yang keaslian bangunannya masih tetap terjaga. Menempatkan di sebelah Selatan Keraton Yogyakarta, dahulu daerah ini merupakan lingkungan tempat tinggal bangsawan-bangsawan Keraton Yogyakarta, sehingga nuansa budaya jawanya masih terasa sangat kental. Terdapat Regol (pintu masuk) berukuran besar dan berwarna hijau tua yang merupakan warna khas keraton Yogyakarta. Royal Brongto Hotel Yogyakarta juga memiliki sebuah pendopo besar berbentuk Joglo yang sampai sekarang masih dipertahankan bentuk aslinya. Menikmati rekam jejak bangunan sejarah & budaya Yogyakarta di Royal Brongto Hotel. Bangunan dengan sejarah masa lalu yang dibangun sebagai ndalem pangeran kini tampil kembali dengan fungsi dan konsep yang hadir lebih segar tanpa meninggalkan nilai sejarah dan budaya yang menjadi daya tarik utama. Berdiri di atas tanah bangunan keraton seluas 1,7 hektar, Royal Brongto Hotel hadir sebagai jembatan bagi para tamu dan pengunjung dalam menikmati serta mendalami suasana hangat dan asri layaknya tinggal di dalam keraton Yogyakarta yang kental akan sejarah, budaya, dan ramah tamah yang khas
Ndalem Mangkuyudan
Dalem Mangkuyudan dulunya terletak di Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta. nDalem Mangkuyudan diperkirakan di bangun saat pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VII antara tahun 1877-1923. Dulunya ditempati oleh KRT. Mangkuyudo. Beliau suami BRAy. Mangkuyudo putri ke-9 HB VII dari garwa BRAy. Retnohadi. Saat ini Dalem Mangkuyudan sudah beralih fungsi sebagai Politeknik Kesehatan Yogyakarta.
Untuk saat ini dikomplek bangunan poltekkes terdapat patung ibu menyusui anak, yang dulunya adalah sebuah sumur peninggalan dari nDalem Mangkuyudan. Di sepanjang jalan menuju nDalem Mangkuyudan terdapat gapura peninggalan dari Kraton Yogyakarta yang masih berdiri kokoh hingga saat ini. Peninggalan lainnya berupa pusaka tombak, keris, dan arca masih tersimpan rapi di kediaman Romo Suryo yang masih dilingkup nDalem Mangkuyudan.
Gereja Pugeran
Bangunan Pastoran diperkirakan didirikan antara tahun 1933 s.d tahun 1934. Mulai 19 Juni 1934 untuk pertama kalinya Gereja Pugeran mendapat penggembala yang tetap. Maka mulai tanggal 19 Juni 1934 s.d. 9 Mei 2019, tercatat sebanyak 68 rama pernah tinggal di rumah pastoran tersebut.
Selama perang kemerdekaan republik Indonesia pada tahun 19 Desember 1948 – 29 Juni 1949, selama perang kemerdekaan Republik Indonesia, tempat ini telah menjadi pengungsian dan merupakan tempat penghubung rahasia pula antara para pejuang gerilyawan perang kemerdekaan Republik Indonesia yang bergerak didalam dan diuar kota Yogyakarta (Pugeran, 29 Juli 1984)
Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran adalah hasil karya arsitek Van Oyen, gereja ini didirikan dengan tujuan untuk menampung umat di Yogyakarta bagian selatan dan Bantul utara. Hal ini disebabkan karena pada masa itu di Yogyakarta bagian selatan baru ada satu Gereja Katolik yaitu di Ganjuran. Gereja ini diberkati dan diresmikan penggunaannya pada 8 Juli 1934 oleh Romo van Kalken, SJ. Selama masa Perang Kemerdekaan 19 Desember 1948 s.d.19 Juni 1949, menjadi tempat pengungsian dan perlindungan bagi penduduk di sekitar Gereja Pugeran. Di samping itu, di bawah Rama Sandiwanbrata, PR., tempat ini juga difungsikan sebagai penghubung rahasia antara para pejuang gerilyawan perang kemerdekaan Republik Indonesia yang bergerak di dalam dan di luar kota Yogyakarta. Bangunan ini menggunakan atap tajug yang disangga oleh empat sokoguru di tengah ruangan.
Keempat saka guru tersebut melambangkan keberadaan empat penginjil yaitu Santo Mateus, Santo Markus, Santo Yohanes, dan Santo Lukas sebagai saka guru gereja. Mencermati selubung tegak bangunan, maka nampak bahwa bangunan gereja tersebut juga mengacu pada arsitektur barat. Di samping itu, di bagian depan terdapat porch dan pintu masuk yang memiliki 2 lapis daun pintu dengan model Eropa. Karakter budaya Jawa tidak hanya corak arsitektur tetapi juga pada upacara-upacara Misa Kudusnya. Dapat dikatakan bahwa bangunan Gereja Pugeran ini merupakan gereja dengan bangunan gaya tradisional yang dipadukan dengan arsitektur barat.
Makam Sarilaya
Makam sarilaya berlokasi di Kampung Dukuh, Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan mantrijeron. Memiliki luas lahan 4.949 meter persegi dan kapasitas 1.496 petak makam ini sudah hampir penuh. Ada sekitar 1.200 makam yang izinnya masih diperpanjang. Didalam makam ini terdapat makam Pangeran Puger dan makam dari keluarga kraton Yogyakarta.
Saat ini Makam Sarilaya telah menjadi tempat pemakaman umum yang dikelola oleh Kemantren Mantrijeron. Perizinan pemakaman atau perpanjang penggunaan makam bisa dilakukan ke Kemantren Mantrijeron. Pembayaran retribusi makam juga sudah nontunai menggunakan QRIS.Tarif retribusi pun berbeda-beda, untuk pemesanan makam per 1 tahun ber-KTP Yogyakarta Rp. 35.000. Sedangkan untuk perpanjang penggunaan tanah setiap jenasah per 3 tahun ber-KTP Yogyakarta adalah Rp.45.000.
Masjid Agung Condronegaran
Masjid Agung Condronegaran.. Perluasan pembangunan Masjid Agung Condronegaran yang selalu mengalami kebuntuan/gagal bertahun-tahun oleh beberapa kali pembentukan kepanitian mampu dipecahkan oleh beliau RM.Moeljanto Condronegoro. Beliau adalah sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kantor Gubernuran Provensi DIY di Kepatihan,Yogyakarta. Beliau lahir di Ndalem Condronegaran Yogyakarta pada tanggal 2 Februari 1949 dan menetap di Condronegaran hingga akhir hayatnya, dengan kemampuan bernegosiasi mengenai masalah tanah masjid dengan pihak terkait didalamnya.
Alhamdulillah..sekarang Masjid Agung Condronegaran berdiri megah. Masjid Agung Condronegaran dirancang oleh R.M.Hari Condronegoro yang merupakan Trah Condronegaran/ buyut GBRAy.Condronegoro HB VII
Masjid Tawangsari
Masjid Tawangsari terletak di Kampung Dukuh, Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Masjid Tawangsari dibangun oleh Gusti Pangeran Arya Puger yang merupakan putra dari HB II. Berdasarkan pada sebuah prasasti yang ada di komplek masjid, diperkirakan masjid ini didirikan sekitar tahun 1878.
Awal dari pembangunan masjid ini terjadi ketika Pangeran puger berkata pada abdi dalemnya bahwa jika meninggal akan dimakamkan di Kampung Dukuh. Setelah itu PangeranPuger mengajak para abdi dalem untuk membangun makam. Setelah membangun makam Pangeran Puger selanjutnya membangun masjid di selatan makam.
Gaya bangunan Masjid Tawangsari mirip dengan gaya bangunan Hindu yang memiliki bentuk atas seperti Meru. Atapnya bertingkat dan memiliki ujung berbentuk Gada, filosofinya adalah agar manusia selalu meningkatkan ketaqwaannya. Meskipun telah berdiri ratusan tahun bangunan ini masih sangat kokoh dan terawat. Tembok dan kayunya masih dipertahankan keasliannya. Namun juga ada beberapa perubahan seperti memasang keramik, plafon pada atap, dan penambahan serambi masjid.
Karena dibelakang masjid terdapat makam Pangeran Puger dan pemakaman umum, maka setiap nyadran selalu ramai oleh warga yang ingin berziarah. Pada saat ramadhan masjid ini juga semakin ramai dengan dengan para umat jamaah hingga dapat menampung sekitar 200 orang.
Ndalem Ngadinegaran
Dalem Ngadinegaran merupakan salah satu dalem atau rumah bangsawan yang ada di Yogyakarta. Dalem ini beralamat di Jl. Bintaran Kidul No. 28 Kp. Bintaran, Kel. Wirogunan, Kec. Mergangsan, Yogyakarta. Seperti dalem-dalem lainnya, dalem ini merupakan bagian dari kesultanan Yogyakarta. Sejak 1 Maret 1960, bangunan Dalem Ngadinegaran digunakan sebagai gedung Laboratorium Kesehatan Daerah dan Sekolah Penjenang Kesehatan Tingkat F (SPKF).
Dalem Ngadinegaran dibangun dengan menggunakan gaya arsitektur campuran antara tradisional Jawa dan Indies. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan atap limasan untuk bangunan utama dan atap joglo untuk pendapa serta penggunaan jendela bergaya louvered. Dalem yang didirikan pada tahun 1850 ini pada awalnya merupakan milik seorang Belanda bernama Rosendal. Kepemilikan rumah ini kemudian berpindah ke tangan Sultan Hamengku Buwono VII. Bangunan ini kemudian diberikan kepada Gusti Pangeran Hadinegoro I yang merupakan putra ke-13 Hamengku Buwono VII dari garwa BRAy. Retnosangdiah.
Bangunan Dalem Ngadinegaran memiliki arah hadap ke utara dengan beberapa bangunan tambahan di sisi barat dan timur. Lantai tegel dan plafon bangunan ini diganti pada awal abad ke-20 dan masih dipertahankan hingga sekarang. Selain penambahan bangunan di sisi barat dan timur, perubahan paling mencolok adalah penutupan pendapa dengan dinding kaca. Selain itu di kompleks dalem juga terdapat penambahan bangunan-bangunan penunjang perkantoran dan mushala.
Langgam bangunan ini tidak hanya didominasi oleh gaya tradisional Jawa melainkan juga memasukan unsur gaya bangunan indis di dalamnya. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk atapnya yang berupa limasan dengan penambahan gevel. Selain itu gaya Indis juga ditunjukkan dengan adanya jendela yang bergaya louvered sebagai penegasan langgam bangunan Indis. Konsep keruangan yang dimiliki dalem ini masih mengadopsi gaya tradisional Jawa yang diperlihatkan dari adanya pendapa, pringgitan serta dalem ageng. Secara keseluruhan bangunan dalem masih menampakkan tapak keasliannya, meskipun terdapat beberapa perubahan pada bagian pendapa.
Dalem Ngadinegaran saat ini difungsikan sebagai Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta. Mulanya Balai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta bertempat di Ngasem pada tahun 1950-1952, kemudian berpindah ke Jl. Malioboro No. 16 pada tahun 1952-1960, hingga akhirnya menetap di Dalem Ngadinegaran sejak 1960.
Ndalem Puspodiningratan
Dalem Puspodiningratan beralamatkan di Jalan Mayjend Sutoyo No. 66 Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Dalem ini berada di sebelah selatan pojok beteng wetan. Dalem Puspodiningratan mulanya merupakan tempat tinggal Danunegoro, putra ke-empat Hamengku Buwono VII. Sesuai dengan nama keluarganya, maka dalem ini juga mulanya disebut Dalem Danunegoro, bahkan hingga sekarang lingkungan dalem ini disebut sebagai daerah Danunegaran. Beberapa tahun setelahnya, tempat ini ditinggali oleh KRT. Puspodiningrat yang merupakan cucu Hamengku Buwono VI sekaligus menantu Hamengku Buwono VII. Semenjak itu nama dalem ini berubah menjadi Dalem Puspodiningratan sesuai dengan nama pemiliknya.
Dalem yang saat ini ditinggali oleh cucu keturunan KRT yaitu dr. Kunyum Marsindro, Sp.Rad. Puspodiningrat ini memiliki arah hadap ke utara seperti dalem-dalem lainnya yang menghadap ke arah utara atau selatan mengikuti arah kraton. Kelengkapan bangunan ini masih dapat terlihat dengan keberadaan regol atau pintu masuk yang terdapat pada bagian depan. Bagian dalam dalem ini juga masih cukup lengkap dengan adanya kuncungan, pendapa, pringgitan, dan dalem ageng.
Gaya arsitektur dalem ini ialah tradisional Jawa yang dapat dilihat dari keseluruhan bangunan. Pada bagian kuncungan menggunakan atap dengan jenis kampung, fungsi dari kuncungan saat ini digunakan untuk parkir kendaraan. Pada bagian pendapa dalem ini mempertahankan keaslian pada bagian atapnya yang masih mempertahankan bentuk joglo, sedangkan pada bagian lantainya saat ini sudah berubah menjadi keramik berwarna hijau begitu pula dengan bagian lain di dalem ini.
Selain difungsikan sebagai tempat tinggal, dalem ini pernah digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda milik Fakultas Geologi UGM. Pada tahun 1967-1987 sebagian pringgitan digunakan sebagai TK Kartini dan sejak tahun 1989 pada bagian pendapa dan pringgitan digunakan untuk SMP Tamtama hingga saat ini.
Matur Nuwun